Semenjak Indonesia merdeka hingga saat ini, sistem hukum di Indonesia
mengalami banyak perubahan. Perubahan ini sangat erat kaitannya dengan
perubahan sistem politik yang terjadi. Pada masa orde lama, Indonesia
menganut sistem politik demokrasi liberal. Demokrasi liberal adalah
sistem politik yang melindungi secara konstitusional hak-hak individu
dari kekuasaan pemerintah. Dalam demokrasi liberal, keputusan mayoritas
haruslah tidak melanggar hak-hak individu seperti yang tercantum dalam
konstitusi. Demokrasi yang dianut pada masa itu adalah demokrasi
terpimpin yang cenderung otoriter. Akibatnya, sistem hukum yang
dianutpun cenderung hukum yang konservatif, yakni suatu sistem hukum
yang memberikan kekuasaan yang cukup besar kepada pemimpin dalam membuat
produk-produk hukum. Setelah kekuasaan orde lama berakhir, munculah
sebuah dinasti baru dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia yang
disebut orde baru. Dinasti baru lahir dengan semangat untuk melaksanakan
Pancasila dan UUD 1945 secara murni. Namun sekali lagi, orde baru
melaksanakan kepemimpinan secara otoriter. Sehingga sistem hukum pada
masa itu tidak jauh berbeda dengan orde sebelumnya. Pada tahun 1998,
Indonesia memasuki era baru setelah mundurnya Presiden Soeharto dari
tampuk kekuasaan. Era Reformasi, begitulah orang Indonesia menyebutnya.
Bangsa indonesia memandang bahwa era reformasi ini merupakan saat yang
tepat untuk membenahi tatanan kehidupan bangsa. Pembenahan hukum adalah
agenda penting dalam era ini. Langkah awal yang dilakukan adalah
melakukan amandemen terhadap UUD 45 karena UUD 45 merupakan hukum dasar
yang menjadi acuan bernegara dalam segala bidang. Setelah itu,
dilakukanlah pembenahan dalam pembuatan perundang-undangan, baik yang
mengatur bidang baru maupun penyesuaian peraturan lama dengan tujuan
reformasi.
Dewasa ini, kita hidup sebagai bagian dari era reformasi. Pada era
ini, sudah berkali-kali terjadi perubahan tampuk kekuasaan. Mulai dari
Prof. BJ Habibie yang seorang ilmuwan hingga pemimpin saat ini, SBY,
yang merupakan seorang yang berasal dari kalangan militer. Namun bisa
dikatakan bahwa mereka semua belum mampu untuk menciptakan sebuah
kondisi hukum yang benar-benar adil.
Saat ini, kita masih seringkali mendengar kabar tentang bagaimana
seorang rakyat kecil “dijauhkan” dari keadilan hukum yang seharusnya
mereka dapatkan. Prita misalnya, seorang terpidana kasus dugaan
pencemaran nama baik Rs. Omni Internasional. Ada kejanggalan dalam
putusan kasasi Mahkamah Agung dalam kasus ini. Dimana adanya
pertentangan antara putusan kasasi pidana dan perdata Prita. Dalam
putusan perdata, Prita dinyatakan tidak terbukti melakukan pencemaran
nama baik dan dibebaskan dari membayar denda kepada Rs. Omni
Internasional. Sementara dalam putusan pidana, Prita justru terbukti
bersalah dan divonis enam bulan penjara dengan masa percobaan satu
tahun.
Contoh kasus lainnya adalah yang terjadi baru-baru ini. Pengadilan
Negeri Denpasar melakukan eksekusi terhadap sebuah villa milik warga
India bernama Kishore Kumar. Kasus ini berawal tahun 2008 saat Rita
Prindhanni, istri Kishore, menjaminkan tanah seluas 1.520 meter persegi
dan bangunan miliknya The Cozy Villa atas fasiitas kredit senilai Rp.
10,5 miliar dari Bank Swadesi dengan debitur atas nama PT. Ratu
Kharisma. Namun beberapa waktu terakhir Rita tidak mampu memenuhi
kewajibannya. Kemudian tanpa melalui prosedur dan ketentuan BI, Bank
Swadesi langsung memvonis pailit pihak peminjam serta mengeksekusi lahan
dan bangunan tersebut.
Contoh kasus diatas cukup untuk menggambarkan tentang kondisi Hukum
di Indonesia, khususnya kasus perdata yang menjadi sorotan utama saya
dalam tulisan ini. Contoh tersebut hanyalah sebagian kecil dari
banyaknya ketidakadilan yang terjadi dalam pelaksanaan hukum di
Indonesia. Ketidakadilan tersebut bukan hanya diakibatkan oleh sistem
hukum yang kurang baik tetapi juga diakibatkan oleh mentalitas penegak
hukum yang lemah. Para penegak hukum seringkali dengan mudahnya tergoda
dengan iming-iming jabatan serta jabatan, Jaksa Cyrus Sinaga misalnya
yang menjadi terdakwa atas dugaan melakukan manipulasi terhadap kasus
mantan pemimpin KPK, Antasari Azhar.
Jadi bisa dikatakan bahwa kondisi hukum di Indonesia saat ini masih
belum berpihak pada keadilan yang hakiki. terbukti dengan adanya
perkara-perkara yang vonisnya jauh dari kebenaran.
Landasan UUD 45 dan PANCASILA tidak layak apa bila kondisi penegak hukum itu sendiri masih saja seperti ini.Selalu acuh tak acuh terhadap peraturan yang ada untuk menegakkan negara Indonesia ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar